Program-program lain yang beliau canangkan pun tak kalah revolusioner. beliau berhasil mengisi
kas daerah dengan menginstruksikan penanaman singkong besar-besaran,
karena singkong saat itu sedang laku di pasaran dunia. Hasil kas
digunakan untuk program-program lain, seperti memperluas area persawahan
plus memperbaiki sistem irigasi. Martanegara bahkan mengungkapkan,
bahwa tanah akan lebih berguna jika ditanami dibandingkan dengan diurug
untuk dijadikan perumahan. Sedangnkan program irigasi diwujudkan lewat
mega proyek irigasi Cihea, yang menghabiskan satu juta gulden. Mungkin
hanya di masa Martanagara lah luas daerah persawahan tidak berkurang
seiring majunya perekonomian sebuah kota, melainkan makin meluas. Pada
tahun 1896 luas areal persawahan mencapai 800.000 bau. Dan ketika tahun
1912 mencapai 1.000.000 bau.
Pembangunan prasarana publik pun tidak terlupa. Untuk mempermudah
akses keluar masuk daerah, ia membangun jembatan (jembatan bambu)di
beberapa sungai besar di sekitar Bandung. Dalam waktu singkat telah
dibangun lima buah jembatan di aliran Citarum; yang menghubungkan
Cicalengka-Majalaya, Ujungberung-Ciparay, Dayeuhkolot-Banjaran,
Cimahi-Kopo, dan yang terakhir menghubungkan Rajamandala dan Cihea,
dimana arus lalu lintas dari dan ke Batavia serta Bogor berhasil
dipersingkat. Bahkan ketika pejabat kolonial meninjau proyek-proyek ini,
disangkanya Martanagara adalah seorang insinyur teknik lulusan Belanda.
Dua tahun kemudian, kelima jembatan bambu ini sudah diganti dengan yang
berbahan besi.
Martanagara pun berhasil membangun irigasi beberapa taman di Bandung
seperti Taman Merdeka (Pieterspark), Taman Nusantara (Insulindepark),
Taman Maluku (Molukenpark), dan Taman Ganesha (Ijzermanpark).
Tahun 1897 Martanagara lagi-lagi harus mengalami kehilangan seorang
istri. Raden Ayu Sangkanningrat meninggal satu bulan setelah melahirkan
putra pertamanya, Aom Singgih. istri RAA. Martanegara dimakamkan di Karang Anyar.
Setahun kemudian ia pun menikah lagi, lagi-lagi dengan putri Pangeran
Sugih, yaitu Nyai Raden Rajaningrat.
Tahun 1904. Untuk ke sekian kalinya, datanglah Raden Dewi Sartika ke kantor Martanagara. Raden Dewi tak lain adalah putri dari Somanagara, sang pengacau pada awal kepemimpinannya. Beliau datang untuk kesekian kalinya memohon untuk diizinkan membuka sekolah
untuk kaum perempuan, dari kalangan apapun. Martanagara dilanda
kebimbangan, rencana Raden Dewi merupakan rencana yang sangat mulia dan
progresif untuk jamannya. Namun di sisi lain akan menimbulkan
kegoncangan bagi kaum priyayi, terutama para wanitanya. Karena sekolah
adalah eksklusivitas yang hanya diperoleh kaum priyayi dan kaum berada.
Tapi pada akhirnya, kecintaannya pada kemajuan membuatnya mengizinkan
rencana Raden Dewi membuka sekolah. Agar tidak terlalu menghebohkan,
sekolah Raden Dewi ia sediakan tempat di halaman rumah dinasnya.
Dukungannya pada sekolah yang kelak bernama Sakola Kautamaan Istri
tersebut berlanjut, bahkan ketika sekolah mencari tempat baru karena
membludaknya murid, Martanagara ikut patungan (dari kocek pribadi)
bersama Raden Dewi untuk membeli sebuah tanah di Ciguriang berikut
membangun bangunan dari kayu dan bambu.
Beragam penghargaan pernah ia terima ketika menjabat sebagai bupati.
Tahun 1900 penghargaan bintang emas ia terima dari pemerintah kolonial.
Tahun 1906 memperoleh gelar adipati. Tahun 1909 ia mendapatkan
penghargaan tertinggi, yaitu payung emas (golden parasol) dari
pemerintah. Martanegara juga mendapat gelar kehormatan dari Raja Siam,
Officer of the Order of the Crown of Siam.
Tahun 1918, setelah 25 tahun menjabat bupati Bandung,
Martanagara merasa sudah waktunya ia untuk mundur. Usia yang sudah
menginjak 74 tahun menyulitkannya untuk bekerja dengan fokus dan baik.
Ia pun resmi mundur bersamaan dengan dikeluarkannya surat keputusan
resmi pemerintah tanggal 14 Oktober 1918. Martanagara menghabiskan masa
tuanya di Sumedang, tanah kelahirannya. Tempat tinggalnya di masa
pensiun ini berpindah-pindah. Pertama ia menempati bagian selatan
kompleks kabupaten, lalu ia dipinjami sebuah rumah oleh seorang Belanda,
sembari ia pun membangun sebuah rumah di Burujul, sebelah barat kota
Sumedang.Yang dihuninya sampai akhir hayat sebelum dimakamkan di
Kompleks Makam Gunung Puyuh. Tidak diperoleh info tentang kapan ia
wafat.
foto :
google
sumber :
https://id.wikipedia.org/wiki/Martanegara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar