Bandung tempo dulu diwarnai oleh adanya beberapa etnis yang hidup didalamnya seperti pribumi, Belanda, warga Eropa (selain Belanda), Arab, india dan juga etnis Cina atau Tiong Hoa. Mereka memberikan warna pada perkembangan di kota Bandung. Masyarakat dari etnis Tionghoa hadir di Bandung atas prakarsa Gubernur
Jendral Hindia Belanda Daendels yang pada waktu itu sedang giat-giatnya membangun, salah satunya yaitu pembangunan jalan raya pos Anyer-Panarukan pada tahun
1810. Selain itu juga ada yang berpendapat kedatangan etnis Tionghoa di
kota Bandung diperkirakan mereka merupakan orang-orang pelarian perang Diponegoro tahun
1825-1830. Saat mereka tiba di bandung mereka menetap di daerah Suniaraja dan daerah Pecinan lama
Keberadaan tempat tinggal etnis Tionghoa atau pecinan di Kota Bandung
berbeda dengan kawasan pecinan di kota Batavia maupun Semarang. Jika di Batavia atau Semarang mereka dibatasi pergerakanya dengan dibangunnya Benteng benteng disekitar pemukiman mereka dengan tujuan untuk meisahkan etnis tiong hoa dengan etnis lainnya. Sedangkan di kota Bandung mereka bisa bebas dengan leluasa hilir mudik tanpa sekat pembatas.
Di kota Bandung sendiri Pecinan terbagi pada 3 wilayah. Pertama di
seberang Pasar Baru yang kini bernama Jalan Pecinan Lama. Kedua daerah
belakang Pasar Baru hingga jalan Kebonjati, dan yang terakhir dari Jalan
Gardu Jati hingga Andir. konon katanya sempat terjadi pemisahan ruang oleh pemerintahan belanda pada waktu itu. Penjajah menempatkan orang Belanda maupun bangsa Eropa di sebelah utara alun-alun. Sedangkan
warga dari bangsa Asia timur seperti Tionghoa, Arab, India, ditempatkan
di sebelah barat. Bangsa pribumi di tempatkan di sebelah selatan, dan
bagi warga keturunan Indo di sediakan tempat di sekitar Jalan Lengkong
dan Malabar. Sehingga tak heran banyak pengaruh nama nama etnis dalam nama jalan daerah tersebut seperti nama Jl. Alkateri diambil dari nama keluarga Arab Al Katiri.Dan Alkaterilah orang yang dikenal sebagai tuan tanah yang memiliki pabrik roti dan susu.
Tahun 1885 etnis tiong hoa mulai menyebar ke Jln. Kelenteng. Pecinan di Jln. Kelenteng di tandai dengan pembangunan Vihara Satya Budhi. Pecinan berkembang pesat disekitar Pasar Baru
sejak 1905. Umumnya warga Tionghoa menjadi pedagang. Salah satunya, Tan
Sioe How yang mendirikan kios jamu ”Babah Kuya” di Jln. Belakang Pasar,
tahun 1910. Bisa dikatakan, toko Babah Kuya merupakan salah satu
perintis toko di kawasan itu. Selain Babah Kuya, warga Tionghoa lain pun
banyak yang mendirikan kios di wilayah ini.
toko babah kuya saat ini |
Selain di Pasar Baru, kawasan pecinan juga tumbuh di Suniaraja dan Citepus pada tahun 1914. Setiap pecinan dipimpin oleh Wijkmeester. Wijkmeester untuk daerah Suniaraja adalah Thung Pek Koey, sedangkan untuk daerah Citepus adalah Tan Nyim Coy. Wijkmeester dipimpin oleh seorang Luitennant der Chineeschen. Di Bandung, Luitennant-nya adalah Tan Djoen Liong (H. Buning, ”Maleische Almanak”, 1914). Para pemimpin Tionghoa itu diabadikan di beberapa tempat, misalnya di sekitar jalan Chinees-Wijk Citepus, ada pula Gang Goan Ann di Andir dan Jap Lun.
bersambung ke bagian 2
Sumber foto :
Google
thetravelearn.com
sumber :
https://didasadariksa.wordpress.com/2010/11/02/sejarah-masyarakat-tionghoa-di-bandung/
https://aleut.wordpress.com/2010/04/11/jalan-jalan-ke-pecinan-bandung/
bagus sekali artikelnya
BalasHapusmampir ke blog abdi oge gan
www.angkutanbandung.com