Senin, 02 Februari 2015

Alun Alun Bandung, riwayatmu dulu.....

(Alun Alun Bandung sekarang setelah direvitalisasi oleh Walikota Bandung Ridwan kamil)

        Masih menyambung pembicaraan kita kemarin mengenai Masjid Agung Provinsi Jawa Barat atau yang biasa kita sebut Masjid Agung Bandung. tepat di hadapan Masjid tersebut menghampar halaman luas yang dikenal orang orang dengan Alun-Alun Bandung. Seperti yang sudah saya sebutkan dalam posting terdahulu, bahwa tempat ini (Alun-alun, Red) merupakan tempat untuk berkumpul baik itu bersama keluarga, rekan, atau sebagai tempat berjalan jalan sebagai rekreasi.

Alun-alun Bandung tempo dulu
        Alun-alun (dulu ditulis aloen-aloen atau aloon-aloon) merupakan suatu lapangan terbuka yang luas dan berumput yang dikelilingi oleh jalan dan dapat digunakan kegiatan masyarakat yang beragam.di buat oleh fatahillah, Menurut Van Romondt (Haryoto, 1986:386), pada dasarnya alun-alun itu merupakan halaman depan rumah, namun dalam ukuran yang lebih besar. Penguasa bisa berarti raja, bupati, wedana dan camat bahkan kepala desa yang memiliki halaman paling luas di depan Istana atau pendopo tempat kediamannya, yang dijadikan sebagai pusat kegiatan masyarakat sehari-hari dalam ikwal pemerintahan militer, perdagangan, kerajinan dan pendidikan. 

         Lebih jauh Thomas Nix (1949:105-114) menjelaskan bahwa alun-alun merupakan lahan terbuka dan terbentuk dengan membuat jarak antara bangunan-bangunan gedung. Jadi dalam hal ini, bangunan gedung merupakan titik awal dan merupakan hal yang utama bagi terbentuknya alun-alun. Tetapi kalau adanya lahan terbuka yang dibiarkan tersisa dan berupa alun-alun, hal demikian bukan merupakan alun-alun yang sebenarnya. Jadi alun-alun bisa di desa, kecamatan, dan kota maupun pusat kabupaten. Pada awalnya Alun-alun merupakan tempat berlatih perang (gladi yudha) bagi prajurit kerajaan, tempat penyelenggaraan sayembara dan penyampaian titah (sabda) raja kepada kawula (rakyat), pusat perdagangan rakyat, juga hiburan seperti Rampokan macan yaitu acara yang menarik dan paling mendebarkan yaitu dilepaskannya seekor harimau yang dikelilingi oleh prajurit bersenjata.


Alun Alun Bandung pada Tahun 1900 masih berupa lahan kosong
 yang dikelilingi pohon besar dan penuh dengan kabut di pagi hari


          Tentu Alun Alun Kota Bandung yang dulu dikenal orang tua kita tak sama dengan yang kita ketahui sekarang. Wajahnya beberapa kali mengalami perubahan di tangan para pemegang kebijakan. Namun alun alun adalah sebuah ikon atau sebuah tempat yang mencirikan sebuah kota, sehingga keberadaannya Wajib atau mutlak harus ada. nah, bagaimana sebetulnya wajah alun alun Bandung tersebut?

         Mari kita mulai dengan sejarahnya terlebih dulu. Pusat kota atau yang dikenal juga dengan sebutan puseur dayeuh Bandung tempo dulu dicirikan dengan sebidang tanah lapang yang dinamakan alun-alun.  Di sekitarnya terdapat bangunan-bangunan fungsional. Di sebelah selatan terdapat bangunan pendopo kabupaten. Kini bangunan itu dijadikan kediaman resmi wali kota Bandung. Di sebelah barat terdapat bangunan Masjid Agung. Kini namanya Masjid Raya Bandung – Provinsi Jawa Barat. Di sebelah timur terdapat Bale Bandung. Setelah beberapa kali dirombak, kini di atasnya berdiri bangunan tiga lantai yang dijadikan pusat perbelanjaan Palaguna.

 Alun Alun Bandung tempo dulu
      Masih dalam lingkaran pusat kota, di sebelah utara alun-alun terletak penjara Banceuy. Dinamakan demikian karena penjara tersebut terletak di  Jalan Banceuy. Dalam Bahasa Sunda, banceuy sama artinya dengan kampung yang dijadikan kandang kuda (istal), di samping tempat penduduk yang bertugas mengurus kuda penghela. Waktu pertama berdirinya kota Bandung, Kuda merupakan alat Transportasi yang sangat penting yang dipakai untuk mengantarkan surat. Biasanya, dalam jarak tertentu pasti ada kuda pengganti untuk menggantikan kuda pertama. Biasanya berada di pos ganti. Salah satu pos pengganti yang ada di jalan raya pos (Grote Postweg) ada di dekat gedung Kantor Pos Besar Bandung yang sekarang adanya di sebelah jalan raya pos (Grote Postweg) dan Jalan Banceuy.


   kantor pos banceuy jaman dulu        
        Jalan Banceuy sebenarnya awal mula berasal dari nama Oude Kerkhoffweg karena disana pernah dijadikan tempat kuburan China. Sekarang tempat itu dijadikan pusat penjualan suku cadang mobil dan listrik. Alun-alun Bandung yang adanya di sebelah selatan Grote Postweg bisa disebut masih ada, bisa juga disebut tidak ada. Disebut tidak ada karena secara fisik sudah dijadikan plaza Masjid Raya Bandung-Provinsi Jawa Barat. Sebaliknya disebut ada, sebab masyarakat Bandung masih menyebut tempat ini alun-alun.
        

     Alun-alun Bandung tempo doeloe dibangun di depan pendopo kabupaten, sehingga keberadaannya merupakan satu kesatuan dengan Masjid Agung dan bangunan pemerintahan lainnya. Di tempat itu pula masyarakat kota bersosialisasi dan melakukan berbagai aktivitas, serta memanfaatkan sebagai tempat rekreasi. Tanahnya subur dan ditumbuhi rumput hijau. Sisi timur alun-alun dibatasi sepenggal jalan yang dinamakan Jalan Alun-alun Timur. jalan tersebut pernah menjadi tempat mejeng, terutama anak-anak muda. 

        Di sana terdapat tiga buah gedung bioskop yakni, Elita, Oriental dan Varia dengan gaya arsitektur yang unik, gedung Varia sebelumnya merupakan tempat hiburan atau feesterien. Tetapi di lidah penduduk setempat, tempat hiburan itu diucapkan pistren.Tahun 1980-an, bangunan bioskop dan tempat hiburan di sana diratakan dengan tanah. Di atasnya kemudian didirikan bangunan tiga lantai dijadikan pusat perbelanjaan Palaguna. Satu-satunya bangungan gedung bioskop yang masih tersisa hanyalah Radio City yang terletak di ujung selatan Jalan Alun-alun Timur. Namun, sejalan dengan makin suramnya dunia perbioskopan nasional, bangunan bekas bioskop Radio City yang kemudian berubah nama menjadi Dian dan sekarang  dijadikan gelanggang futsal. 

(beberapa bioskop di Kota bandung tempo dulu sumber : https://mooibandoeng.wordpress.com/2013/06/24/bioskop-di-bandung/)
       

       Seperti alun-alun di tempat lainnya di  Nusantara, bagian tengah alun-alun Bandung ditanami sepasang pohon beringin yang dilambangkan sebagai pengayom. Sebuah di antaranya dinamakan Wihelmina-boom karena di tanam untuk memperingati pelantikan Ratu Belanda Wihelmina pada tanggal 8 September 1898. Pohon beringin di sebelahnya yang ditanam tahun 1909, dinamakan Juliana-boom untuk memperingati kelahiran Ratu Juliana.



Pohon juliana dan pohon Juliana sumber https://bandoengeuy.wordpress.com/2012/07/15/aloen-aloen-bandoeng/

            
              Wihelmina Helena Pauline Maria bertahta sejak tahun 1890-1948. Namun setelah merayakan pesta emas tahtanya, ia menyerahkannya kepada putirnya Juliana Louise Emma Marie Wihelmina (1948-1980). Kedua pohon tersebut sering dijadikan tempat berteduh masyarakat dari teriknya sinar matahari. Namun menjelang pendudukan Jepang, pohon beringin di tengah alun-alun itu tumbang. Kata orang tua, itulah ciciren (tanda-tanda) kejatuhan Belanda di tanah jajahannya.


                     Pada waktu itu terdapat banyak kegiatan yang "rajin" disenggarakan di tempat Alun alun Bandung, dari mulai panggung untuk tinju (atau dikenal dengan boksen kalo kata orang dulu), adu domba, adu panahan, area jajanan atau yang dikenal dengan "PUJASERA" sampe pertandingan sepak bola. Semua ada disana membuat para muda mudi tua muda tumpah ruah menikmati berbagai macam hal hiburan pada waktu itu.


     kegiatan seputar Alun Alun Kota Bandung tempo dulu
                
            Tak hanya kegiatan hiburan semata tapi di area Alun alun bandung terdapat kisah yang cukup seram. Dahulu di depan Bale Bandung dibuat sebuah tiang mirip gawang sepak bola. Di “mistar gawang” tergantung beberapa tambang yang banyaknya disesuaikan dengan jumlah terdakwa yang akan dieksekusi hari itu. Di saat tanam paksa atau “Cultuur Stelsel” yang dikomando Gubernur Jenderal Daendels seorang “Marschallk” atau dalam telinga orang pribumi terdengar sebagai “Mas Galak” banyak orang pribumi yang membelot dan melawan. Mereka itulah yang akan diadili dan dieksekusi di tiang gantungan Alun-alun Bandung atau di lapangan Tegallega.

              Adalah Alimu, seorang juru tulis “Koffie Pakhuis” melihat bahwa pada saat itu kompeni amat serakah dalam membeli kopi dari rakyat dengan harga murah. Alimu lalu membelot, ia bersekutu dengan mandor agar setiap kopi yang dipanen rakyat tidak dijual kepada kompeni melainkan kepada orang Inggris di Cirebon, karena tawarannya lebih tinggi. Ketika Alimu dan mandor sedang membawa kopi dengan menggunakan pedati yang ditarik kerbau menuju Cirebon, penguasa keamanan bernama Schout yang oleh orang Bandung dipanggil “Tuan Sakaut” berang. Beberapa aparat segera mengejar memakai kuda. Alimu dan mandor ditangkap lalu diadili singkat di Bale Bandung. Tanpa bisa membela diri, tanpa didampingi pengacara. Hakim dan jaksa sepakat untuk menghukum mati Alimu dan sang mandor dengan hukuman gantung di tiang gantungan.

                Cerita para tahanan yang dieksekusi di tiang gantungan bukan hanya itu saja. Khususnya di masa tanam paksa. Banyak rakyat yang dianggap “makar” karena menentang penjajah Belanda ditangkapi. Termasuk garong, perampok, dan para preman yang selalu meresahkan masyarakat. Sidangnya, ya itu tadi, dilakukan singkat di Bale Bandung, saat itu juga para terdakwa divonis mati di tiang gantungan. 

              Dalam  masyarakat Kota Bandung, alun-alun memiliki beberapa fungsi. Selain merupakan paru-paru kota dan tempat masyarakat bersosialisasi, alun-alun pernah menjadi saksi sejarah lahirnya Negara Pasundan versi  Partai Rakyat Pasoendan (PRP) yang diproklamirkan pada tanggal 4 Mei 1947. Proklamasi negera boneka Belanda itu disiarkan oleh radio resmi Belanda dan dihadiri Van Mook serta partai politik Belanda seperti Kathotliek Vilks Partij (KVP) dan Indo Europee Verbond (IEV). Naskahnya dibuat dalam tiga bahasa (Rosidi, 2000:499).

             Naskah proklamasi dalam Bahasa Sunda dibacakan oleh R.A.A. Moesa Soeria Kartalegawa (Ketua Pengurus Besar), naskah dalam Bahasa Belanda dibacakan Mr. Koestomo (Sekretaris) dan naskah dalam Bahasa Indonesia dibacakan oleh Soeleiman. Kartalegawa adalah bekas  Bupati Garut yang dipecat pada zaman pendudukan Jepang. Namun umur Negara Pasundan tersebut rupanya tidak bertahan lama. Setelah tiga kali diselenggarakan Konferensi Djawa Barat yang bertujuan membentuk Badan Pemerintahan Daerah Sementara (Recomba), Negara Pasundan versi P.R.P. akhirnya bubar.

             Sebagai ruang terbuka yang letaknya di pusat kota, alun-alun sudah beberapa kali mengalami salin rupa. Bahkan karena seringnya hail itu terjadi, warga kota menjadikannya sumber desas-desus. Jika dulu dijadikan ciciren jatuhnya pemerintahan Hindia Belanda, maka setelah kemerdekaan, alun-alun dijadikan ciciren adanya penggatian pimpinan daerah (wali kota). Dalam Bahasa Sunda, ciciren artinya sama dengan pertanda akan terjadi sesuatu.
   
              Dan sekarang melalui sentuhan kreator muda Bapak Wali Kota Bandung Ridwan kamil Alun-alun Kota bandung kembali menjadi tempat yang nyaman untuk berkegiatan, dari mulai hanya sekedar duduk duduk ataupun beraktivitas lainnya. Semoga para generasi mendatang dapat mempertahankan keindahan dan menjadikan alun alun bandung ini sebagai saran positif sebagaimana dilakuakn oleh warga Bandung tempo dulu.




Sumber : http://bandungdansekitarnya.blogspot.com/2011/07/alun-alun-bandung-tinggal-nama.html
                https://bandoengeuy.wordpress.com/2012/07/15/aloen-aloen-bandoeng/
                    https://mooibandoeng.wordpress.com/2013/06/24/bioskop-di-bandung/)
                http://id.wikipedia.org/wiki/Alun-alun_Bandung
                berbagai Sumber.






1 komentar:

Balai Kota Bandung, Kisah sebuah Gudang Kopi

Balaikota Bandung... Sebuah gedung yang bernuansakan Putih, yang berada di Jalan Wastukancana. Gedung yang juga diapit oleh Jalan Ace...