Pagi tadi saya mencoba mencari data mengenai padalarang, ada yang menggelitik keingin tahuan saya mengenai asal usul nama padalarang. kenapa sih namanya padalarang? pada ngelarang? atau padang (tegalan/bukit) yang terlarang? setelah browsing sana sini, buka buku sana sini akhirnya saya mendarat di salah satu situs yang memuat tulisan pak Budi Brahmantyo, beliau adalah koordinator Kelompok Riset Cekungan Bandung.
awalnya saya pikir ini mengenai asal usul kata Padalarang, tapi ternyata isinya lebih menarik lagi karena selain mengenai konservasi lingkungan tulisan beliau juga berisi korelasi (hubungan) antara nama nama tempat di padalarang dengan cerita sangkuriang yang ngebet untuk memperistri ibu kandungnya sendiri yang tidak ia sadari. yuk kita simak sama sama tulisan beliau.
Amuk Sangkuriang di Citatah.
Bagi beberapa penduduk sepuh di kampung-kampung pelosok perbukitan
kapur Tagogapu – Citatah – Rajamandala, sebelah barat Bandung, cerita
amarah Sangkuriang sedikit berlanjut. Cerita lisan yang didapat dari
seorang sesepuh Kampung Rancamoyan, Desa Gunungmasigit, Kecamatan
Cipatat mungkin menarik untuk disimak.
Menurut sesepuh itu, sebenarnya amarah Sangkuriang tidak berhenti
dengan menendang perahu dan kemudian mengejar Putri Dayang Sumbi.
Sangkuriang juga mengobrak-abrik persiapan pesta pernikahan. Selain
perahu, semua barang ditendanginya.
Berdasarkan sakakala Sangkuriang yang berlanjut di perbukitan kapur
Citatah itulah, beberapa toponim bukit kapur berkaitan erat dengan
legenda amarah Sangkuriang menghancurkan persiapan pestanya itu. Pasir
(disingkat Pr. = bukit) Pawon yang berarti dapur, Pr. Leuit (lumbung),
Pr. Pabeasan (tempat beras), Gunung Hawu (tungku), Pr. Kancahnangkub
(wajan/panci yang terbalik), semuanya merupakan bukit-bukit yang
terpisah jauh. Begitu pula Pr. Bende dan Gua Ketuk yang berarti alat
tetabuhan, serta Pr. Manik yang berarti perhiasan. Makanan dan minuman
terburai menjadi Ci Bukur. Bukur dalam bahasa Sunda adalah sisa-sisa
makanan.
Cerita selanjutnya menurut kasepuhan Rancamoyan itu, Sangkuriang
menyiapkan pelaminannya di satu bukit kapur yang bernama
Karangpanganten. Ijab kabulnya direncanakan di Gunung Masigit atau
masjid. Di sini cerita yang sebenarnya berbasis Hinduisme sudah
terpengaruh oleh Islam. Tak utuh lagi
Kemarahan Sangkuriang yang mengejar-ngejar Dayang Sumbi diekspresikan
di dalam toponim sungai Ciluncat, tempat dimana pengejaran itu
meloncat-loncat. Kadang kala kejar-kejaran tersebut ada rehatnya juga
sehingga Sangkuriang sempat berjemur di Rancamoyan, yang berarti rawa
tempat moyan, berjemur. Keseluruhan peristiwa itu dicatat sebagai suatu
bencana yang diterapkan pada nama satu bukit kapur, Pr. Bancana.
Jika berkendaraan dari Padalarang ke arah Cianjur, kita akan dapati
semua toponim bukit dan sungai itu tersebar sejak Km.20 di Ciburuy
hingga Km.27 di Cibogo. Setelah melewati Situ Ciburuy dari Padalarang,
satu persatu kita akan temui bukit-bukit itu, diawali Pr. Pabeasan di
selatan atau kiri jalan.
Bukit kapur tegak ini terkenal di kalangan pemanjat tebing sebagai
Tebing-125 karena berketinggian 125 m, dinding tegak tertinggi di
perbukitan ini. Di baliknya terdapat G. Hawu. Suatu dinding yang jika
dilihat dari arah selatan tampak berlubang menganga, membentuk suatu
lengkung alami yang sangat indah. Memang persis seperti tungku kayu
bakar dengan lubang perapiannya berupa lubang vertikal sedalam kira-kira
90 m. Satu bukit kecil Pr. Kancahnangkub berada jauh di selatan Pr.
Pabeasan pada perbukitan bukan kapur.
Kira-kira pada Km. 22 akan kita dapati Karangpanganten berupa
bukit-bukit tegak runcing di sebelah utara atau kanan jalan. Di
sebelahnya, berderet Pr. Pawon sebagai satu-satunya bukit kapur yang
masih utuh karena keberadaan situs manusia purbakala, dan Gunung
Masigit, bukit kapur berbentuk kerucut yang rusak karena galian batu
kapur hingga ke puncak-puncaknya.
Lalu ke arah barat kita jumpai Pr. Leuit yang sulit dikenali lagi dan
Pr. Bancana yang juga menganga ke atas karena galian kapur juga.
Cibukur, Ciluncat dan Rancamoyan sedikit masuk ke pedalaman dari jalur
jalan raya ke arah utara. Semakin ke arah barat, kita akan jumpai Pr. Manik yang masih utuh karena
bukit kapur ini dikuasai Kopasus untuk latihan panjat tebing. Di atas
puncak bukit dengan tebing setinggi 49 m ini “tertancap” belati komando
raksasa sebagai ciri yang cukup mencolok. Jauh di sebelah selatan,
terdapatlah Pr. Bende yang bernasib lebih buruk, jadi lahan tambang
juga.
Bagaimana nasib bukit-bukit itu sekarang? Dari hasil pengamatan di
lapangan maupun dengan sedikit bantuan citra satelit, dapat disimpulkan
bahwa hampir tidak ada satu pun bukit kapur yang masih utuh. Tiga di
antaranya, yaitu Pr. Pawon, Pr. Manik dan Pr. Sangiangtikoro masih baik. Hal ini karena Pr. Pawon memiliki Gua Pawon yang telah menjadi situs
arkeologis dan merupakan sumber air bersih bagi masyarakat di hilirnya,
sedangkan Pr. Manik dikuasai Kopasus, dan Pr. Sangiangtikoro berada di
bawah otoritas PLTA Saguling.
Bukit-bukit yang lain tinggal menunggu waktu untuk hancur dan rata.
Gunung Masigit yang dikeroyok tujuh pengusaha galian batu kapur, dari
tahun ke tahun berubah drastis dan akan kehilangan ciri morfologinya
yang unik. Apalagi bagi ilmu geologi, bukit ini adalah bukit sangat
penting karena merupakan lokasi tipe bagi Formasi Rajamandala, yaitu
lokasi standar stratigrafi untuk jenis batu gamping yang berumur 30 – 23
juta tahun yang lalu ini. Pasir Pabeasan relatif aman karena setiap minggu selalu ada latihan
panjat tebing. Begitu pun G. Hawu yang ada di belakangnya. Namun, jangan
tanya bagaimana rangkaian punggungan bukit ini persis di kiri dan
kanannya hancur juga dengan tangan-tangan mesin backhoe yang tanpa ampun
menggerogoti. Pr. Bancana, Pr. Bende, G. Guha dan Pr. Guha di Kabupaten
Cianjur tidak luput dari incaran pengusaha pengolahan kapur.
Habis
Pertanyaan berikutnya, sampai kapan usaha ini berlanjut? Mestinya
sampai semua batu kapur habis atau ludes. Lalu inilah skenario terburuk
yang tergambar di pelupuk mata: di bawah batu gamping tersembul batu
lempung yang menjadi penyebab longsor utama di sepanjang jalur ini. Batu
lempung ini juga cenderung tidak subur. Lalu hilang pula sumber-sumber
air bersih yang tadinya berupa mata air pada kontak batu kapur – batu
lempung. Inilah warisan yang akan kita berikan untuk anak cucu kita
sendiri di masa depan! Palias…
Syukur, kesadaran akan masa depan yang tergambar buruk di Citatah
rupanya telah mulai disadari. Pada 18 Desember 2007, Gubernur Jawa Barat
melakukan acara Ngarumat Pr. Pabeasan jeung G. Hawu untuk memelihara
lingkungan di sekitar dua bukit unik ini. Selanjutnya pada 29 Desember
2007 diadakan sarasehan di depan Gua Pawon yang berhasil mengikat
komitmen legislatif dan eksekutif Kabupaten Bandung Barat untuk menata
kawasan Goa Pawon dan Gunung Masigit serta seluruh kawasan kars Citatah
berwawasan lingkungan.
sumber :
http://blog.fitb.itb.ac.id/BBrahmantyo/?p=49
sumber foto :
http://korantekno.com/article/94080/danau-bandung-pada-jaman-purbakala.html
https://kangope.wordpress.com/tag/hiking/